“Bu, cabenya seperempat berapa?” tanya saya pada ibu-ibu sayur langganan di dekat rumah.
“Lima belas.” Jawabnya singkat.
Jawaban singkat dari ibu sayur tersebut sudah cukup untuk mengubah niat saya yang tadinya mau membeli cabe ¼ kg menjadi 1 ons saja.
Ya, entah apa yang membuat harga bumbu-bumbu dapur seperti cabe, tomat, dan lain-lain kerap kali naik. Dan, naiknya nggak tanggung-tanggung.
Enggak cuma bumbu dapur. Berbagai sayur-mayur yang sering saya beli seperti bayam, kangkung, brokoli, kubis, hingga mentimun, juga kerap naik dan membuat saya mengurungkan niat untuk membeli stok sayur.
Padahal, saya, suami, dan anak-anak suka banget sama sayur. Terutama sayur-sayur yang sudah saya sebutkan di atas tadi.
Memang sih, pada awalnya anak-anak kurang begitu doyan. Tapi lama-lama mereka pun jadi terbiasa karena saya sering masak sayur.
Untuk memancing minat anak, saya juga tidak terlalu kaku dalam menyajikan sayur. Saya selalu mencoba bereksperimen dengan berbagai resep sampai menemukan yang cocok dengan lidah anak-anak.
Karena harga sayur yang tidak stabil, atau seringkali harganya lumayan mahal, membuat saya berpikir untuk menanam sendiri beberapa sayur-mayur yang sering saya beli.
Menanam Sayur Sendiri di Pekarangan Rumah
Karena setiap hari selalu butuh sayur dan berbagai bumbu dapur segar seperti cabe dan tomat, saya dan suami memutuskan untuk bercocok tanam sendiri.
Terlebih, selain berniat untuk menanam sayur sendiri, saya juga ingin mulai konsisten memilah sampah dari rumah untuk menjaga lingkungan.
Jadi, sampah-sampah organik seperti sisa potongan sayur akan saya pisahkan, lalu saya tanam di beberapa bedengan yang saya buat di depan rumah.
Selain untuk mengurangi bau, mengubur sampah organik juga bermanfaat sebagai pupuk organik bagi berbagai jenis sayur-mayur yang akan saya tanam.
Hasilnya pun sungguh di luar dugaan. Rata-rata tanaman yang saya tanam di bedengan yang menggunakan pupuk organik ini cukup subur.
Mulai dari tanaman cabe, tomat, kangkung, bayam, dan beberapa sayuran lain termasuk daun chaya.
Meskipun berbagai tanaman sayur yang saya tanam di pekarangan rumah masih belum bisa mencukupi kebutuhan sayur harian, tapi setidaknya beberapa jenis sayur sudah bisa membantu saya menghemat pengeluaran untuk membeli sayur-mayur.
Tapi yang paling saya syukuri adalah, sayur-mayur yang saya tanam di depan rumah, semuanya berstatus organik.
Saya tidak pernah menyemprotnya dengan menggunakan pestisida apapun. Praktis, setiap hari saya hanya menyiangi rumput-rumput yang tumbuh dan menyiram dengan air saja.
Mencari Referensi Cara Bertani di Internet
Setelah saya jalani sendiri, ternyata menanam sayur-mayur dan berbagai tanaman yang kita butuhkan tidak terlalu sulit.
Saya juga merasa beruntung karena tanah di wilayah Jawa cukup subur. Meski demikian, saya tetap ingin belajar bagaimana caranya menanam sayur agar hasilnya lebih subur.
Di samping itu, saya juga masih merasa perlu untuk belajar bagaimana caranya membuat pupuk organik.
Untuk mempelajari semua itu, saya mengandalkan internet dalam mencari referensi di website maupun YouTube.
Ada banyak referensi dan hal-hal menarik seputar pertanian organik yang saya temukan di internet. Salah satunya adalah tentang sesosok petani organik milenial asal Flores bernama Maya Stolastika Boleng yang beberapa waktu silam memenangi penghargaan SATU Indonesia Awards dari Astra Group.
Kisah Maya Stolastika Boleng: Petani Organik Milenial dari Flores
Membaca perjalanan Maya Stolastika Boleng sebagai petani organik milenial benar-benar sangat menginspirasi.
Betapa tidak, ia yang merupakan seorang sarjana Sastra Inggris dari Universitas Negeri Surabaya, justru sukses menekuni bidang agriculture.
Perjalanan Maya menjadi petani organik, pertama kali dimulai ketika ia berkunjung ke Pulau Dewata.
Saat berada di Bali itulah ia pertama kali merasakan nikmatnya jus wortel segar yang notabenenya merupakan sayuran. Jus tersebut sama sekali tidak tercium seperti sayuran pada umumnya. Padahal, selama ini dia tidak begitu menyukai sayur.
Setelah ditelusuri, ternyata jus wortel yang dihidangkan kepadanya oleh seorang pemilik kelas Yoga tersebut merupakan dibuat dari wortel yang dihasilkan dari kebun organik.
Sejak itu ia mulai mencoba mengenal lebih jauh konsep bercocok tanam secara organik.
Ketertarikannya pada sistem pertanian organik tidak lepas dari nasehat instruktur yoga yang ia temui di Bali, yang mengatakan bahwa “pertanian organik itu bisa memberikan kebaikan.”
Ungkapan tersebut merupakan manifestasi dari proses pertanian organik yang tidak melibatkan bahan kimia sehingga bisa membantu menjaga kesehatan tahan.
Tak hanya itu, ekosistem juga akan jadi lebih seimbang, begitu pula dengan kesehatan orang yang mengkonsumsi berbagai sayur dan buah-buahan yang ditanam secara organik.
Saat kembali ke Surabaya, Maya yang terinspirasi dari pengalamannya selama berada di Bali pun mencoba untuk menggeluti pertanian organik bersama 4 temannya pada tahun 2008.
Setelah mengumpulkan uang kurang lebih Rp 500 ribu dari hasil mengajar les bahasa Inggris dan jualan pulsa serta berbagai cemilan, lima sekawan ini kemudian menyewa lahan seluas setengah hektar di Claket.
Lahan tersebut kemudian ia olah dan tanami sawi bersama beberapa petani yang ada di wilayah Claket, Kecamatan Pacet, Kabupaten Mojokerto.
Pada awal memulai, Maya dan kawan-kawannya tidak memiliki pengetahuan apapun mengenai pertanian termasuk bagaimana cara memasarkan hasil pertanian mereka.
Karena itulah, ketika mereka dikabarkan bahwa sawi yang mereka tanam sudah panen di usia 20 hari dan menghasilkan 1,5 ton sawit, Maya kebingungan bagaimana cara memasarkannya.
Meski sudah membawanya ke pasar induk dan menawarkannya ke hotel hingga restoran, namun hasil panen sawi tersebut ternyata tidak laku sehingga tidak menghasilkan keuntungan seperti yang diharapkannya.
Pengalaman tersebut membuat mereka merugi dan menyebabkan 3 rekannya memutuskan untuk keluar.
Setelah kehabisan modal, Maya sempat berpikir untuk meninggalkan profesi sebagai petani sayur organik. Namun pada saat ia merasa ragu tersebut, tiba-tiba ia dihubungi oleh salah satu customer yang menanyakan ‘kapan kiranya ia akan mengirim sayur lagi?’
Telepon tersebut layaknya angin surga yang membuat Maya kembali bersemangat untuk melanjutkan usaha yang selama ini ia rintis.
Karena kehabisan modal, Maya pun mencoba mencari lahan yang tidak digunakan di wilayah Claket. Saat itu, ia menemukan sebuah lahan tidur yang sudah lama tidak diolah seluas 2500 m² karena pemiliknya sudah jompo.
Saat ia mengajukan izin untuk menyewa lahan tersebut, sang pemilik memperbolehkannya untuk menyewa lahan dengan pembayaran di belakang--apabila sudah berhasil menjual sayur-sayuran yang ia tanam.
Sembari menanam berbagai sayuran organik, Maya terus berusaha memperluas jaringannya. Tak dinyana, nasib mempertemukan ia dengan salah satu manajer supermarket di Surabaya, yang kemudian memintanya untuk menjadi supplier sayur organik di supermarket tersebut.
Tak hanya di supermarket tersebut, Maya juga menjadi supplier sayur organik seperti wortel, sawi, bayam merah dan hijau, hingga selada, di beberapa supermarket lainnya yang juga berlokasi di Surabaya.
Saat menjadi supplier sayur organik untuk supermarket di Surabaya tersebutlah Maya belajar banyak hal. Terutama tentang quality control, cara packing, dan bagaimana cara memilih sayuran yang sesuai dengan kriteria di supermarket.
Sayangnya, harga sewa lahan pertanian terus naik dari tahun ke tahun dan minimal durasi sewanya pun terus bertambah, membuat Maya mencoba cara lain.
Kali ini, untuk memenuhi permintaan dari supermarket, Maya mencoba membeli sayur organik hasil petani lain, yang selain ia jual di supermarket di sekitaran Surabaya, juga iya jual supermarket supermarket besar di kota-kota lain seperti, Balikpapan, Pontianak, Bali hingga Lombok.
Meskipun pada akhirnya sukses menjadi salah satu petani muda, namun Maya juga mengalami banyak kendala yang membuatnya beberapa kali jatuh ke titik terendah.
Tetapi, semangatnya untuk kembali mencoba telah mengantarkannya menjadi salah satu petani milenial yang sukses.
Kesuksesan Maya membuatnya terpilih menjadi salah satu finalis pada ajang Semangat Astra Terpadu Untuk Indonesia (SATU) Indonesia Awards tahun 2019.
Tak hanya terpilih sebagai salah satu penerima SATU Indonesia Awards, Maya juga pernah dinobatkan sebagai Duta Petani Muda Pilihan Oxfam Indonesia pada tahun 2016.
Ayo Jadi Petani!
Sejak duduk di bangku SD kita sudah diajarkan bahwa Indonesia merupakan negara agraria yang artinya, tulang punggung perekonomian di negara ini berada pada sektor pertanian.
Sektor pertanian juga merupakan sumber utama mata pencaharian bagi sebagian besar penduduk Indonesia, khususnya mereka yang tinggal di pedesaan.
Sayang, dari tahun ke tahun jumlah petani di Indonesia terus menurun. Badan Pusat Statistik Nasional menyebutkan bahwa jumlah petani di Indonesia menurun dari angka 39,7 juta orang pada tahun 2017 menjadi 33,3 juta orang pada tahun 2020.
Jumlah petani di Indonesia yang terus menurun dari waktu ke waktu tentu saja sangat memprihatinkan hingga menguat harga sayur dan berbagai bahan pangan menjadi semakin mahal.
Profesi menjadi petani merupakan salah satu profesi yang cukup menjanjikan di Indonesia.
Jangan takut kotor, jangan takut capek. Jadi petani itu penuh tantangan, tapi juga sangat menyenangkan. Yuk, jadi petani milenial dan ubah Indonesia menjadi lahan hijau yang berkelanjutan!
Referensi :
https://www.astra.co.id/satu-indonesia-awards
0 Comments