Uniknya Kain Kayu Lantung yang Coba Dilestarikan oleh Alfira Oktaviani

"Indonesia adalah negara yang kaya." Meski banyak orang yang kerap mencibir ungkapan tersebut, tapi saya percaya Indonesia adalah negara yang benar-benar kaya. Tidak hanya karena memiliki sumber daya alam yang melimpah, tapi Indonesia juga kaya akan budaya dan menyimpan banyak potensi.

Uniknya Kain Kayu Lantung



Bahkan, ketika saya menyangka tak akan ada lagi hal-hal baru dari Indonesia yang akan saya dengar. Nyatanya, saya tetap saja masih disuguhkan dengan hal-hal unik dan menarik yang dihasilkan oleh ragam budaya masyarakatnya.

Dari sekian banyak hal yang baru saya dengar beberapa waktu belakangan ini, Kain Kayu Lantung adalah salah satunya. Kain unik yang terbuat dari kulit kayu Lantung ini sendiri merupakan kain khas Bengkulu.

Sungguh, saya tak pernah menyangka jika di Indonesia masih ada orang yang mau melestarikan bahan pakaian yang terbuat dari kulit kayu seperti ini.
Karena saya pikir, pakaian yang terbuat dari kulit kayu semestinya tak akan lagi kita jumpai di era modern ini. Apalagi, beberapa literasi yang pernah saya baca menyebutkan bahwa pakaian dari kulit kayu hanya digunakan oleh masyarakat kuno.
Hal lain yang membuat saya sangat terkejut adalah, kain yang terbuat dari kulit kayu ini ternyata serupa benar dengan kain-kain yang terbuat dari serat alami pada umumnya.

Jika hanya dilihat sepintas, kita mungkin akan menyangka jika kain tersebut adalah kain yang terbuat dari katun.

Mengenal Kain Kayu Lantung Khas Bengkulu


Saya sendiri mendapat informasi tentang kain Lantung (kain kayu Lantung) secara tidak sengaja saat saya mencoba mencari tahu cara membuat ecoprint yang kemudian menonton saya pada Semilir Ecoprint.

Semilir Ecoprint adalah sebuah brand yang dibentuk oleh seorang mompreneur asal Yogyakarta bernama Alfira Oktaviani atau yang lebih akrab disapa Mbak Fira.
Menurutnya, Semilir Ecoprint ini lahir dari minatnya dalam mempelajari pewarnaan alam atau ecoprint dengan mengusung budaya Indonesia.

Semilir Ecoprint



Mbak Fira sendiri memilih nama "Semilir" karena ia ingin agar usahanya ini bisa menyejukkan (layaknya angin semilir) bagi para pengrajin ecoprint tanah air dan juga untuk kelestarian lingkungan.

Produk-produk yang dihasilkan oleh Semilir Ecoprint 100% menggunakan bahan-bahan alami dan serat natural seperti kain linen, sutra, dan kain katun. Pilihannya jatuh pada bahan-bahan alami atau serat natural yang berasal dari alam karena ia bertekad untuk membuat produk yang sustainable atau berkelanjutan. Ragam bentuk hasil produk mereka diantaranya adalah, kain dengan motif ecoprint, tas, dompet, dan berbagai macam aksesoris lainnya.

Pada awalnya, Semilir Ecoprint hanya fokus membuat souvenir seminar seperti tas laptop atau semacamnya. Namun kini, produknya semakin beragam dan sudah merambah dunia fashion.

Agar bisnisnya bisa bertahan dan bersaing, Mbak Fira meyakini bahwa inovasi adalah salah satu faktor yang paling menentukan.
Di tengah-tengah usahanya untuk mencari ide inovasi produk bagi Semilir Ecoprint, ia diperkenalkan pada kain Lantung khas Bengkulu oleh ayahnya.

Menerapkan Ecoprint di Atas Kain Lantung


Menerapkan motif dedaunan pada kain lantung dengan menggunakan metode ecoprint ternyata tidaklah mudah meskipun kain ini juga berasal dari serat alam.

Namun berkat kegigihannya melakukan trial and error, kain kayu lantung yang sejak awal sudah membawa warna alaminya sendiri pada akhirnya bisa diberi motif ecoprint.
Setelah berhasil membuat produk dari bahan kain kayu lantung yang telah diberikan motif dengan metode ecoprint, Mbak Fira semakin tertarik untuk memproduksi ecoprint di atas kain Lantung.

Untuk mewujudkan itu semua, ia mencoba untuk menggali lebih banyak informasi mengenai kulit kayu lantung yang ternyata berasal dari salah satu desa di pelosok negeri ini.

Karena sudah membulatkan tekad, Fira pun mengajukan proposal "riset kulit kayu lantung" ke Fasilitas Bidang Kebudayaan (FBK) Kemendikbud RI pada tahun 2020 silam.

Gayung pun bersambut, setelah proposalnya disetujui. Mbak Fira pun mencoba menelusuri asal kain lantung ini yang ternyata berada di Desa Papahan, Kabupaten Kaur, Provinsi Bengkulu.

Untuk bisa sampai ke Desa Papahan, Mbak Fira masih harus menempuh perjalanan sejauh 250 km dari kota Bengkulu.
Di desa yang sangat terpencil inilah ia menemukan penduduk masyarakat yang masih tekun memproduksi kain kayu lantung sebagai salah satu sumber penghasilan utama mereka.

Untuk bisa memproduksi kain kayu lantung, masyarakat di desa Papahan tersebut akan berbagi tugas. Para pria bertugas untuk mencari kulit pohon Lantung atau yang lebih kita kenal dengan sebutan pohon terap di hutan. Kulit pohon kerap yang bisa dijadikan kayu hanyalah pohon yang berumur antara 5 hingga 10 tahun.

Selanjutnya, kulit kayu tersebut akan dibawa pulang dan kemudian diolah oleh para wanita. Untuk mengolah kulit kayu lantung hingga menjadi lembaran kain, masyarakat setempat masih mengandalkan proses manual yang tergolong unik.
Kulit kayu tersebut akan dipipihkan dengan menggunakan alat yang oleh masyarakat sekitar disebut perikai. Alat ini sendiri terbuat dari kayu yang bagian kepalanya berbentuk bulat memanjang, berukuran sekitar 40 x 10 cm.

Bunyi "tung…tung…tung…" yang dihasilkan pada saat para wanita memukul kulit kayu untuk dipipihkan inilah yang menjadi asal muasal sebutan kain Lantung.
Selembar kain kayu Lantung berukuran 1 meter persegi pada awalnya sering dijual oleh para pengrajin pada kisaran harga Rp 5.000 sampai dengan Rp 10.000.
Sebuah harga yang terbilang sangat kecil jika melihat jerih payah para pengrajin dalam proses pembuatan kain Lantung.

Meskipun harga dari para perajin relatif murah, tapi di toko online harganya justru sedikit lebih baik. Satu lembar kain lantung berukuran 1 meter persegi biasanya dijual dengan harga kisaran 50.000 hingga 100.000.

Mendapati kenyataan tersebut, Mbak Fira berinisiatif untuk meningkatkan penghasilan para perajin dengan menawarkan kerjasama. Sekarang, para perajin rutin mengirim kain lantung hasil buatan mereka sebanyak 70 hingga 100 lembar per 3 bulan ke Yogyakarta.
Selain bisa bertemu langsung dengan para perajin kain Lantung di desa Papahan, Mbak Fira juga bisa melihat langsung proses pembuatannya mulai dari awal hingga akhir.
Tidak hanya itu, Mbak Fira pun mengetahui sejarah asal mula terciptanya kain lantung ini yang ternyata bermula sejak tahun 1943 silam. Di mana, pada saat itu masyarakat di sekitar desa ini tidak mampu membeli pakaian akibat kemiskinan semasa penjajahan Jepang. Sehingga masyarakat pun terpaksa menggunakan kulit kayu sebagai pakaian alternatif.

Memperjuangkan Keberlanjutan Kain Lantung


Setelah melihat sendiri bagaimana proses pembuatan kain Lantung. Mbak Fira menemukan kenyataan bahwa upaya memperkenalkan kain lantung sebagai warisan budaya Indonesia melalui produk-produk ecoprint ini terkendala oleh penebangan liar kayu Lantung yang memang menjadi bahan dasar pembuatan kain tersebut.
Demi memperjuangkan sustainable kain Lantung, Mbak Fira pun berinisiatif untuk melakukan kerjasama dengan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Bengkulu, guna memberikan solusi dan sosialisasi mengenai pelestarian alam demi keberlanjutan usaha para perajin.

Setelah melalui sejumlah audiensi, kerjasama antara Semilir Ecoprint dan DLHK Bengkulu menghasilkan solusi yang menggembirakan bagi semua pihak. DLHK Bengkulu bersedia menyediakan dan memasok bibit pohon lantung atau pohon terap secara gratis kepada para pengrajin yang ada di desa Papahan.
Solusi ini dirasa lebih mudah diterapkan, karena jika dilakukan melalui pendanaan, tentu akan membutuhkan pengawasan yang sangat merepotkan.

Meraih Penghargaan SATU Indonesia Awards 2022


Untuk melestarikan budaya Indonesia dan memperkenalkannya ke seluruh dunia melalui produk-produk Semilir Ecoprint tentu saja tidak di-handle sendiri oleh Mbak Fira. Melainka, aa juga mengajak warga sekitar seperti ibu-ibu di kampungnya untuk ikut memproduksi berbagai macam produk fashion hingga souvenir.

Selain mengajak masyarakat untuk ikut serta terlibat dalam proses pembuatan produk, Mbak Fira melalui Semilir Ecoprint juga sering membuka pelatihan-pelatihan bagi masyarakat dengan tujuan agar, masyarakat bisa menyadari akan pentingnya produk berkelanjutan yang menggunakan bahan-bahan alami untuk menjaga lingkungan.
Kiprah Mbak Fira dalam berwirausaha dengan mengedepankan produk-produk yang berkelanjutan serta kepedulian dan perhatiannya terhadap dampak lingkungan, belakangan telah membawanya menjadi salah satu pemenang pada ajang SATU Indonesia Award 2022 di bidang Kewirausahaan yang diadakan oleh PT Astra International Tbk.

Terpilihnya Mbak Fira sebagai salah satu pemenang membuatnya berbesar hati dan lebih bersemangat. Karena menurutnya, upayanya untuk memperkenalkan kain lantung dan mempertahankan sustainability kain yang merupakan salah satu warisan budaya Indonesia ini, akan terasa lebih mudah dan ringan jika ada dukungan dari berbagai pihak seperti yang dilakukan oleh PT Astra International Tbk melalui ajang SATU Indonesia Award ini.

Ia berharap, penghargaan ini bisa membantunya menyelesaikan masalah lingkungan yang timbul akibat produksi kain Lantung, terutama di wilayah produksi kain tersebut.

Post a Comment

0 Comments